26 December 2013

Wisata Sejarah dan Kuliner di Cirebon dan Kuningan

Bagi sebagian besar warga Jakarta, lokasi wisata di luar kota yang biasanya sering dikunjungi  namun masih dalam jangka waktu tempuh berkendara mobil di bawah 5 jam adalah Bandung atau Garut di timur Jakarta, Anyer di barat, atau Sukabumi di selatan.  Namun, sebenarnya ada lagi lokasi wisata lain yang berada tidak jauh dari Jakarta yang menawarkan alternatif wisata yang berbeda dengan beberapa lokasi yang disebut di atas. Lokasi tersebut adalah Cirebon dan Kuningan.
Kota Cirebon terletak sekitar 250 km dari Jakarta yang dapat ditempuh selama 5 jam melalui Tol Cikampek, jalur pantai utara, dan Tol Palimanan-Kanci, sedangkan  Kota Kuningan kurang lebih berjarak sama dari Jakarta dengan waktu tempuh yang tidak jauh berbeda. Cirebon dan Kuningan sendiri hanya dipisahkan oleh jarak sekitar 25 km.
Cirebon sarat dengan peninggalan budaya dan sejarah. Salah satu lokasi yang wajib disambangi adalah Keraton Kasepuhan. Keraton ini adalah keraton paling besar di Cirebon dan didirikan pada tahun 1452 oleh Pangeran Cakrabuana. Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yang ada adalah kereta Singa Barong yang merupakan kereta kencana Sunan Gunung Jati.


Kebetulan pada saat kami sekeluarga berwisata ke Cirebon adalah hari Jumat sehingga jadwal disesuaikan dengan mengunjungi keraton terlebih dahulu dan dilanjutkan ke Masjid Sang Cipta Rasa sekaligus menjalankan ibadah shalat Jumat. Masjid ini terletak di sebelah barat alun-alun Keraton Kesepuhan Cirebon. Masjid yang juga dikenal sebagai Masjid Agung Kasepuhan ini merupakan salah satu masjid tertua di Cirebon, yaitu dibangun sekitar tahun 1480 M atau satu periode dengan saat Wali Songo menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

Di masjid ini ada beberapa keunikan yang belum pernah saya temui di masjid-masjid lain tempat saya pernah menjalankan ibadah Shalat Jumat. Yang pertama adalah Adzan Pitu, yang merupakan tradisi yang sangat unik karena adzan dilaksanakan oleh tujuh orang muadzin secara bersamaan. Selain itu, keunikan lainnya adalah adanya Doa Qunut pada rokaat terakhir, dan khutbah yang diberikan dalam 100% bahasa Arab.
Selain wisata budaya dan sejarah, Cirebon juga terkenal dengan wisata kuliner. Ada beberapa jenis makanan yang terkenal dari Cirebon, mulai dari empal gentong, nasi jamblang, nasi lengko, tahu gejrot, hingga manisan mangga. Namun, yang paling terkenal di antara semua itu adalah empal gentong. Makanan ini adalah gulai daging bersantan yang dipadu dengan beragam bumbu di dalamnya, seperti bumbu kuning yang ditambah kapulaga. Bumbu, daging, dan jeroan kemudian dimasak menggunakan kayu bakar dari pohon mangga di dalam gentong selama berjam-jam hingga empuk dan disajikan dengan nasi atau lontong dengan pelengkap daun kucai dan sambal bubuk giling. Demikian terkenalnya masakan ini sehingga hampir semua penjuru kota Cirebon terdapat rumah makan yang menawarkan sajian utama empal gentong.  
Puas mengunjungi situs sejarah dan budaya di Cirebon serta menikmati sajian khas kota ini, kami sekeluarga menuju Kuningan untuk melihat situs penting dalam sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Museum Perundingan Linggarjati.
Museum Linggarjati terletak di Kabupaten Kuningan, tepatnya di Desa Linggarjati, di kaki Gunung Ciremai. Bangunan ini menjadi tempat berlangsungnya perundingan antara Indonesia-Belanda pada tanggal 11-12 November 1946 yang menghasilkan Perjanjian Linggarjati yang salah satu keputusan pentingnya adalah Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura dan bahwa Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Ketua delegasi Indonesia adalah Sutan Sjahrir, sedangkan ketua delegasi Belanda adalah W. Schermerhorn, dan penengah berasal dari Inggris, yaitu Lord Killearn.

Mengunjungi museum ini menumbuhkan kebanggaan tersendiri atas keberhasilan bangsa Indonesia memperjuangkan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia, perjuangan yang dilakukan oleh para pahlawan, baik dalam bentuk angkat senjata maupun melalui meja perundingan, di mana pahlawan-pahlawan tersebut kini sudah dimakamkan di bumi pertiwi. Saya lantas teringat pada salah satu lirik lagu kesukaan saya “Our freedom has the price, the costs are buried in the ground.
Tidak lengkap rasanya mengunjungi Kuningan tanpa mencicipi kuliner khas daerah tersebut. Salah satu favorit saya adalah tape ketan. Makanan yang satu ini terbuat dari beras ketan yg difermentasi dengan ragi, dibungkus dengan daun jambu air dan diberi pewarna dengan daun katuk serta banyak dijual dalam kemasan ember. Selain itu, ada juga Jeniper. Mengingat  logat urang Sunda yang sering menyebut huruf ‘f’ dengan ‘p’, mungkin orang pikir ini ada hubungannya dengan Jenifer Lopez. Namun, ternyata kuliner ini adalah singkatan dari Jeruk Nipis Peras yang merupakan minuman khas Kuningan.
Akhirnya, tibalah waktunya bagi kami untuk kembali ke Jakarta dengan segudang cerita atas budaya, sejarah, dan kuliner di Cirebon dan Kuningan, yang semakin menambah kecintaan kepada tanah air Indonesia. 

1 comments:

Rizqy Shewhite said...

pengen banget bisa ke kuningan dan cirebon,

Post a Comment