Bagian di mana aku speechless melihat pemandangan yang luar biasa sewaktu melakukan perjalanan sih sudah lama lewat, tapi bagian di mana aku seharusnya jadi storyteller belum kesampaian juga. Until now.
Keinginan untuk membuat catatan perjalanan sudah ada sejak bertahun lalu, sejak dari hobby membaca catatan perjalanan oleh dr Tanzil [2] di Intisari, atau dari majalah2 lainnya. Apalagi ditambah dengan ikutan menjadi anggota beberapa milis seperti indobackpacker dan jalansutra.
Informasi yang didapat dari milis tersebut memang bisa dijadikan guideline sebelum menuju suatu tempat, meski kenyataan sebenarnya di lokasi bisa berbeda dengan apa yang kita baca. Karena itu aku coba membuat catatan sendiri berdasarkan yang aku alami. So, here it goes:
Manado Trip
Sudah beberapa bulan berlalu sejak aku pergi ke Manado. Sudah banyak detil yang terlupa, meski keindahan bawah laut Bunaken will always last in my mind. Tadinya catatan ini akan dibuat berdasarkan kronologis tetapi karena sudah basi akhirnya diputuskan dibuat berdasarkan kategori.
The city
Kegiatan kota Manado terpusat di Boulevard (Jl. Pierre Tendean). Jalan yang terbentang dari Utara ke Selatan ini berada persis di pinggir pantai. Cuma, jangan membayangkan pantai di sini bagus dengan pasir putih dan pohon kelapa. Yg ada adalah deretan mall dan ruko yang berdiri di atas tanah reklamasi dan menutupi pemandangan ke laut. Jadi, kalau mau melihat laut harus pergi ke belakang ruko, lalu silakan memandangi pulau-pulau sekitar Manado dari tumpukan batu2 pemecah ombak sambil sesekali menghirup aroma (maaf) bau pesing akibat ulah orang2 yang tak punya etika dengan buang air di situ. The view is quite OK, apalagi di sore hari karena kita bisa melihat sunset di sana.
Di ujung utara jalan ini ada pelabuhan untuk menuju Bunaken. Sedangkan kalau ke Selatan kita bisa ke daerah yang disebut Malalayang. Di sini kita bisa makan ikan bakar di warung2 yang letaknya di pinggir tebing yang menghadap laut.
The food
’Manado Kota Tinutuan’. What the heck is Tinutuan? Itu yang pertama kali
terlintas sewaktu membaca tulisan yang banyak terdapat di kota Manado. Ternyata, itu adalah istilah lokal untuk Bubur Manado. Bubur ini sendiri menurutku tidak layak disebut bubur, lebih tepat disebut sebagai sup jagung dengan tambahan sayur bayam. The taste? Well, kalau sekedar untuk tau rasanya sih boleh2 aja. Aku abis kok satu piring. Tapi kalau nyoba lagi, entar dulu deh. He he.
Yang lebih enak itu adalah makanan yang selalu ada menemani Bubur Manado, yaitu Nike. Yg satu ini bukan merk sepatu lho, tapi ikan2 kecil yang dijadikan satu dan digoreng garing seperti kerupuk. Rasanya enak. Mungkin lebih enak lagi kalau makannya sambil pake sepatu Nike, atau sambil ditemenin sama Nike Karamoy kali ya ( ha ha...)
Di Manado ada satu jalan yang sepanjang jalannya adalah warung2 yang menjual Bubur Manado dan kawan2nya. Namanya Jl. Wakeke dan oleh pemerintah kota Manado dijadikan obyek wisata.
Yg cukup unik dari sisi kuliner adalah kesukaan penduduk sini untuk menggunakan sambel (atau biasa disebut dabu-dabu) pada makanan yang tidak cocok pake sambel, seperti pisang goreng (!). Meski mulanya terasa aneh, lama2 biasa juga makan pisgor sambil dicocol ke dabu. Oya, biasanya dabu ini terbuat dari ikan roa.
Bunaken
Untuk suatu tourist destination yang mendunia, aneh sekali bahwa informasi bagaimana menuju Bunaken amat sulit didapat. Bahkan sewaktu aku menanyakan hal ini ke resepsionis di hotel bintang empat yang aku tempati, dia tidak langsung menyodorkan informasi, brosur, atau apalah yang bisa langsung menjelaskan gimana caranya ke Bunaken. Tapi dia malah nelpon dulu ke temannya yang punya travel, yang ujung2nya memberikan harga yang selangit. Bukan cuma di hotel, di internet saja cukup sulit mencari keterangan menuju Bunaken. Hal ini berbeda sekali dengan Bali, misalnya, di mana hotel2 di Poppy Lane, satu gang sempit di Kuta, saja sudah menampilkan foto2 hotel mereka di internet.
Jadi, menuju Bunaken ada beberapa cara. Pertama, naik kapal umum bareng penduduk pulau dan atau pedagang2. Berangkat setiap hari kecuali hari Minggu dari Pasar Jengki di Manado jam 2 siang dan balik dari Bunaken setiap jam 7 pagi dengan biaya kalau gak salah cuma ceban (sepuluh rebu, tau!). BTW, perjalanan menuju Bunaken dari Manado hanya perlu waktu 30 menit dari pelabuhan dengan menggunakan speed boat. Entah, kalau menggunakan kapal umum ini. Cara ini sih menurutku not recommended. Pertama, karena lokasi pelabuhannya yang agak jauh dengan tempat penyelaman. Kedua, siapa sih yang bisa jamin jadwal penyeberangannya bisa sesuai yang direncanakan?
Cara kedua, ikutan travel dengan beberapa diving provider di sana. Yg terkenal namanya Bastianos Diving Center. Lalu ada Nusantara Diving Center. Yg ini butuh uang banyak karena harga yg ditawarkan cukup tinggi.
Cara terakhir, yang waktu itu aku lakukan, adalah dengan mencharter speed boat langsung di pelabuhan. Pergi saja ke Pelabuhan Manado di ujung utara Boulevard, persis di dekat Hotel Celebes, akan ada banyak orang2 yg menawarkan untuk charter boat ke Bunaken. Waktu itu aku dapat harga 350 ribu round trip (ya pasti lah ya...), plus trip menuju lokasi snorkelling. Harga ini untuk charter dari pagi sampe sore.
Aku berangkat dari pelabuhan pagi2 jam 9 berdua dengan teman dari Exelcomindo yang baru kenal di pelabuhan. View dari speedboat cukup bagus. Kalau ke depan kita bisa lihat tiga pulau besar yaitu Pulau Manado Tua dengan ciri khas terlihat seperti gunung, Pulau Bunaken (lebih flat dan melebar), dan satu lagi Pulau Siladen. Kalau melihat ke arah Manado akan terlihat garis pantai Manado dengan di kejauhan terlihat Gunung Lokon.
Amazing, hanya dalam hitungan menit, air yang tadinya terlihat gelap tiba2 menjadi sangat bening. Di bawah bisa terlihat terumbu karang beraneka bentuk dan warna dengan ikan2 warna-warni berenang-renang dengan indahnya. Kalau mau, kita bisa pindah ke glass-bottom boat, perahu katamaran dua cadik yang bagian tengahnya dilubangi lantas diselipkan alat yang beralaskan kaca. Intinya kita bisa melihat lebih jelas lagi view di dalam laut. It was cool man! Kita bisa lihat bahwa terumbu karang ini, yang kalau kita berdiri di atasnya hanya sebatas dada, berdampingan dengan jurang bawah laut yang dalamnya hingga puluhan meter ke bawah.
Oiya, naik ke perahu ini bayar lagi lho. Kalau gak salah seratus ribuan. Biasanya turis-turis naik perahu alas kaca ini dari pelabuhan, lihat2 sebentar view dalam laut Bunaken untuk kemudian balik lagi. What a waste! Karena the best part of Bunaken is yet to see until at least you do the snorkelling. Diving jelas lebih baik lagi, meski unfortunately aku gak bisa berenang. Aku pindah ke perahu ini dari speedboat di tengah laut. Waktu itu untung bukan weekend sehingga bisa lihat2 view dalam laut dengan lebih santai dan tenang.
Akhirnya, setelah duduk2 di Pantai Bunaken (yang biasa2 aja sih) kita pergi snorkelling. Godaan untuk melihat lebih jelas lagi pemandangan bawah laut begitu kuat meski aku gak bisa berenang dan sedikit ngeri juga membayangkan jurang bawah laut tadi. Dengan snorkel dan baju pelampung sewaan (sekitar 50-75 ribu) kita pergi dengan speedboat ke lokasi snorkelling. Pertama kali mencelupkan kaki ke laut agak serem juga sih..Tapi, begitu mencelupkan kepala ke bawah air, lupa dengan rasa takut itu. Yang ada hanya rasa takjub melihat pemandangan yang belum pernah aku lihat. Thousands of fishes, just inch away from your face. Kalo istilah Tukul mungkin “fish to fish.” Beautiful fishes, colourful. Dg warna2 yang keren banget. Si pemilik speedboat ikutan nemenin snorkle (tapi tanpa pake alat apa2) sambil ngajak ke tempat2 yang bagus. Alhasil, puas banget rasanya berjam2 snorkle melihat pemandangan yang luar biasa keren. I was speechless.
Hotel
Kalau ke Manado cuma sendirian, lebih baik tinggal saja di hotel2 murah meriah yang ada di sana. Rugi kan, bayar mahal2 kalau cuma buat tidur aja. Untuk kelas2 seperti ini bisa coba Hotel Kawanua Kecil di Jl. Sudirman No. 40. Telponnya 0431-864987. Ratenya 100-125 ribu dengan AC, kamar mandi dalam, tv kabel (meski lebih banyak semutnya). Tempatnya cukup tenang meski suasananya sedikit suram. Maklum, ini adalah rumah lama yang dijadikan hotel. Resepsionisnya helpful banget ngasih tahu lokasi yang akan kita tuju, lengkap dengan peta kilat dan rute2 angkot yang harus diambil.
Milis indobackpacker biasanya recommend Hotel Unique Inn. Memang hotel ini bentuknya unik karena sebenarnya adalah jembatan yang seperti di Glodok (atau seperti jembatan yg menghubungkan PI Mall I ke PI Mall II), tetapi dijadikan hotel. Kalau aku sih kurang sreg di sini karena lokasinya yang dekat pasar (Pasar 45) dan agak ramai karena mobil2 yang lalu lalang di bawahnya.
Kalau anda bawa keluarga, bisa coba hotel-hotel yang banyak terdapat di Boulevard. Yg terkenal adalah Ritzy, Manado Beach Hotel, atau Santika. Ada juga satu2nya hotel bintang lima di Manado, Hotel Sedona. Tapi lokasinya terlalu jauh dari Boulevard.
Transportasi
Bersyukurlah anda kalau kebetulan dijamu oleh kantor cabang dengan diantar kemana2 dengan mobil. Tapi kalaupun tidak, kita bisa explore kota dengan angkot. Well, the best way to know the culture of one place is through the public transportation, isn’t it? Angkot di sini punya ciri khas memainkan lagu dengan suara yang sangat keras. Kabarnya sih, saat ini sudah dibatasi level suaranya. Antiknya lagi, posisi duduk penumpang semuanya menghadap ke depan, tidak ada yang saling berhadapan. Jadi, di belakang supir ada 3 baris tempat duduk di mana di tengahnya terpisah untuk jalur orang lewat. Kalau mau turun dari angkot, jangan bilang “Stop, kiri” karena supirnya gak akan ngerti. Bilang saja ’Muka,’ baru si supir akan menghentikan angkotnya. Kalau dia gak berhenti juga, teriak aja ”Muke lu jauh...” Pasti kita akan turun dengan kepala mendarat duluan, he he..
Cara lain keliling kota adalah dengan menggunakan taksi yang anehnya tidak ada satupun yang berbentuk sedan. Semuanya adalah kalau gak Kijang ya Panther. Kalau gak salah sih sistemnya tawar menawar. Aku sendiri gak sempet nyoba, lebih seneng naik angkot, sapa tau ketemu sama Nike Karamoy lagi (teuteup...)
[1] Ibn Battuta adalah ahli di bidang mahzab Maliki, meski lebih terkenal sebagai seorang pengelana. Di abad 14, dia bisa menempuh perjalanan sejauh 117.000 km, melebihi perjalanan Marco Polo.
[2] Prof. HOK Tanzil adalah seorang ahli Mikrobiologi yang juga seorang ‘mahaguru’ jalan2. Dia telah mengunjungi 238 negara dan telah menulis catatan perjalanan di Intisari sejak 25 tahun lalu.
(c) images: private collections; words: by MZ
2 comments:
nice story...
gw aja yang orang menado blom pernah ke bunaken padahal pernah tinggal di menado loh walaupun cuma 6 bulan :)
Post a Comment